Selasa, 29 April 2014

contoh cerpen




Dunia ini terasa berhenti, ketika Zahra harus siap menerima kenyataan pahit, memiliki seorang Ayah dengan keadaan cacat. Keinginannya mempunyai seorang Ayah yang lebih sempurna, seseorang yang tak cacat seperti Ayahnya semua orang. Seorang Ayah yang dapat mendengar harapannya dan kekhawatirannya. Di rumah petaknya, Zahra tinggal bersama Ayah dan adiknya, sesudah kematian ibunya beberapa tahun yang lalu.
Zahra adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Gadis berjilbab, cantik, alim dan lumayan cerdas. Umurnya baru menginjak 17 tahun, duduk di sebuah sekolah islam kota Solo. Jabatan yang diembannya memaksanya untuk terus berpikir, bagaimana cara untuk mengubah keadaan ekonomi keluarga yang semakin parah, ditambah lagi Salma adiknya sudah menginjak kelas 4 Sekolah Dasar semakin banyak yang Salma butuhkan untuk melengkapi peralatan sekolahnya. Zahra dan Salma bisa melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan yang sekarang adalah karena kecerdasannya. Namun demikian tak membuat keduanya berpangku tangan. Terkadang terbesit untuk melanjutkan studynya di suatu universitas impiannya. Ya Impian. Yang selalu hanya impian. 6 huruf yang mempersulit hidupnya.
Pagi ini seperti hari-hari biasanya, Zahra harus bangun pagi mempersiapkan sarapan untuk makan Ayah dan adiknya. Selain itu dia juga harus memandikan Ayahnya dan membereskan semua ruangan sebelum dia pergi menuntut ilmu. Ayahnya yang cacat dengan tangan yang hanya bisa digerakan membuatnya sulit mengetahui kemauanya. Perkataan yang keluar dari mulut Ayahnya pun tidak begitu jelas, sehingga dia meletakan selembar kertas dan sebatang pena yang digunankan Ayah untuk berkomunikasi.
“Sarapan sama apa kak pagi ini?” tanya Salma kepada kakaknya.
“Seadanya Sal, hanya ada nasi dan lauk tempe” jawab Zahra dengan sedih memandang adiknya.
“Ayah mau sarapan sekarang?” tanya Zahra.
Ayahnya pun hanya mengangguk dan menyodorkan secarik kertas kepada Zahra.
Besok uang dari sekolahan jangan buat berobat Ayah tapi belikan Salma ayam goreng kesukaanya..
Zahra dan Salma bebarengan membaca catatan dari Ayahnya.
“Tidak usah Ayah.. lauk tempe saja udah cukup kok” ucap Salma memeluk Ayahnya yang hanya bisa berbaring di tempat tidurnya.
Sebelum berangkat sekolah Zahra menyiapkan semua perlengkapan untuk Ayahnya. Dan mereka pun berpamitan. Seperti biasa Ayah Zahra menyerahkan kertas kusamnya.
Hati-hati di jalan nak.. belajar yang tekun biar kelak jadi anak yang selalu berguna untuk Ayah dan orang lain. Ayah selalu mendoakan kalian dimanapun kalian berada.
Ayah di rumah akan baik- baik saja.
Zahra dan Salma memeluk Ayah tercintanya. Mereka sebenarnya tak begitu tega meninggalkan Ayahnya sendiri di rumah, namun Ayah tetap memaksa agar mereka harus terus sekolah.
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh kurang seperempat sudah saatnya Zahra dan Salma berangkat ke sekolah. Perjalanan menuju sekolah sekitar 2 km. Tidak seperti teman-temannya yang diantar orangtuanya namun kedua gadis ini berangkat dengan mengayuh sepeda tua milik Ayah yang dulu dipakai sebelum jatuh sakit.
Sesampai di sekolah Zahra mengikuti pelajaran dengan seksama. Zahra yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolahnya membuat guru-guru sangat bangga denganya. Dan karena prestasi yang didapat membuatnya memperoleh beasiswa sekolah, yang mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Teeet… teeettt… jam istirahat berbunyi, semua siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tidak sama dengan Zahra yang hanya duduk di kelas menunggu bel masuk berbunyi.
Tiba tiba Aulia menghampiri Zahra.
“Ra kamu dipanggail Bu Nasiah tuuh…” kata Aulia sambil makan batagor.
“oh iya.. dimana?” tanya Zahra
“Di kantor guru, tau kan mejanya Bu Nasiah?”
“Iya makasih, Aku segera kesana” jawab Zahra meninggalkan Aulia di kelas.
Zahra pun berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memberikan senyuman manis kepada teman yang dia temui. Sesampainya di kantor dia mencari meja Bu Nasiah dan menghampirinya.
“Assalamualaikum Bu…” sapa Zahra kepada wali kelasnya.
“Waalaikumsalam Zahra, gimana Bapak sehat?” tanya Bu Nasiah dengan senyumannya.
“Alhamdulilah Bu sehat, Ibu memanggil saya?” ucap Zahra
“Ibu disuruh oleh kepala sekolah untuk memberikan ini untuk kamu.” Bu Nasiah menyodorkan amplop putihnya ke Zahra.
“Terimakasih banyak Bu..” balas Zahra sambil menerima amplopnya dan menyalaminya.
Bel tanda selesainya istirahat berbunyi. Zahra pun berpamitan untuk segera masuk ke ruang kelas. Pelajaran pun dimulai kembali.
Tak terasa waktu sekolah telah selesai. Semua siswa berlarian menuju pintu gerbang menunggu jemputan orangtua. Begitu juga dengan Salma yang sudah menunggu kakakanya di samping sepeda tuanya. mereka pun pulang bersama.
“Loh kak, kok arahnya kesini? Kita kan belok kanan?” tanya Salma penasaran.
“Coba tebak kita mau kemana?” tanya Zahra.
“Ke pasar ya kak?” Salma mencoba menebak.
“Seratus…” senyum Zahra memberikan nilai untuk adiknya.
Sampai di pasar sepedanya pun di sandarkan di dekat pintu masuk pasar. Mereka mencari ayam potong dan bumbu untuk membuat ayam goreng kesukaan Salma. Salma begitu semangat menyusuri deretan pedagang di pasar. Setelah semua di beli tak lupa mereka membeli obat untuk Ayahnya. Dan perjalanan pulang pun dilalui.
Di rumah mereka langsung menghampiri Ayahnya yang sudah menyiapkan sarung dan pecinya. Zahra segera ganti baju dan bergegas membawa air wudu untuk Ayahnya. Sedangkan Salma menyiapkan makanan untuk makan siang.
Selesai wudu Ayah menyodorkan selembar catatan untuk Zahra
Kamu ambil air wudu ajak Salma untuk solat dzuhur berjamaah selesai solat kita makan bersama
Zahra dan Salma segera mematuhi perintah Ayahnya. Mereka bergegas mengambil air wudu dan melaksanakan solat. Selesai solat Zahra menyiapkan makanan untuk Ayah.
Ketika makan Ayahnya terkejut melihat lauk ayam goreng yang sudah di masak Salma. Ayahnya pun menulis catatan untuk kedua gadisnya
Uang dari sekolah disimpan kamu aja Ra, di pakai buat keperluan kamu dan Salma.
Zahra menjawab catatan Ayah “Iya Ayah.. tadi Zahra juga udah beli obat buat Ayah sisa uang udah Zahra simpan di lemari untuk keperluan sehari-hari”.
Salma, Zahra dan Ayahnya melahap makan siangnya dengan lauk ayam goreng yang hanya bisa di beli ketika mendapat uang dari sekolahnya. Selesai makan mereka beristirahat tak lupa Zahra memberikan obat untuk Ayahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, mereka dibangunkan oleh kumandang adzan asar. Zahra bergegas memandikan Ayah dan merapikan ruangan rumah. Salma pergi mengaji di surau dekat rumahnya.
“Salma pamit berangakat ngaji dulu Ayah..” pamit Salma kepada Ayahnya
Ayah Salma hanya mengangguk tanda setuju dan tersenyum.
Hari hari yang dilalui keluarga Zahra begitu bahagia walaupun keadaanya kurang mencukupi. Zahra hanya bisa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepada keluarganya. Melihat sang Ayah yang hanya bisa berbaring di tempat tidur membuatnya merasa iba. Telah berbagai usaha yang dilakukan untuk mengobatinya namun semua nihil.
Di tengah malam ketika Zahra dan Salma sedang tertidur lelap Ayahnya menulis catatan di kertasnya. Dan di sepertiga malam Zahra dan Ayahnya bangun untuk meminta dan memuji ke AgunganNya.
“Kak jam berapa sekarang?” tanya Salma dengan mata sembab.
“Jam tiga pagi, ayo bangun ambil wudu..” pinta Zahra
“Hari ini Salma libur dulu ya kak” ucap Salma memancal slimut kembali dalam tidurnya.
Ayah dan Zahra pun memandang tersenyum. Zahra kembali melakukan dialognya kepada Tuhan untuk semua permohonannya. Dalam hati Zahra berdoa..
Ya Allah, Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Tolonglah kami agar kami mengerti, menerima, percaya,
Memaafkan dan dimaafkan.
Memberi dan menerima, mencintai dan dicintai
Serta berani menatap jauh kedepan untuk kehidupan yang lebih baik
Lebih indah dan membahagiakan
Hari ini Jumat 22 Juni 2012. Matahari mulai muncul mengeluarkan cahayanya. Meyinari kegelapan bumi dan menjadikanya terang. Tanda aktifitas manusia mulai dilalui. Tiba-tiba Ayah Zahra menyodorkan catatan setelah selesai di mandikan.
Zahra pakaikan Ayah baju putih pemberian Ibu, hari ini Ayah sangat rindu Ibu
“iya Ayah.. Zahra juga selalu rindu Ibu..” ucap Zahra meneteskan air mata.
“Salma.. tolong ambilkan Ayah baju koko putih yang ada di lemari” pinta Zahra.
“Iya kak…” jawab Salma dengan mencari baju koko putih di tumpukan baju di lemari.
Tak terasa jam dinding di rumahnya menunjukan pukul tujuh kurang seperempat. Waktunya Zahra dan Salma berpamitan meninggalkan Ayah untuk menimba ilmu. Sepeda tuanya sudah siap membawa ke sekolahan. Sebelum berangkat Ayahnya menyodorkan secarik kertas untuk kedua putrinya.
Hati-hati di jalan. Zahra jaga Salma ya..
Ayah rindu Ibu
Zahra dan Salma memeluk Ayah karena terharu.
“Kami juga rindu Ibu Yah…, kami berangkat sekolah dulu ya Yah, Ayah baik-baik di rumah..”.
Sesampai di sekolahan ketika sedang mengikuti pelajaran di kelas, tiba-tiba seluruh ruangan kelas bergetar dan semua gambar di dinding kelas bergoyang. Siswa yang ada di kelas pun keluar dengan panik. Zahra sangat takut dengan keadaan Ayahnya di rumah. Dia tak mempedulikan keadaan di sekolah. Dan dia langsung mencari sepeda untuk segera pulang. Bu Nasiah menahan Zahra untuk tetap tenang di sekolah namun Zahra bersikeras meninggalkan sekolah karena mengingat Ayahnya.
Zahra dengan kecepatan tinggi mengayuh sepeda dan sampailah di depan rumahnya. Dia langsung menuju kamar Ayah dan melihat Ayahnya yang sudah berbaring di lantai kamarnya.
“Ayaahhh…!!!” Jerit Zahra mendekap Ayahnya.
Tiba-tiba Salma berlarian menuju rumah. Setelah tau keadaanya dia pun menangis mencoba membangunkan Ayah.
“Ayah.. bangun… jangan tinggalin Salma…!” isak Salma.
“innalillahi wa inna iliaihi rooji’uun…”
Semua tetangga mendatangi rumah Zahra, dan mengurus jenazah almarhum Ayahnya.
Setelah semua proses pemakaman selesai, Zahra dan Salma mulai membereskan semua ruangan rumah yang rusak karena gempa. Ketika sedang membersihkan kamar Ayah, Salma menemukan secarik kertas catatan Ayahnya. Mereka membacanya bersama..
Zahra… Salma.. maafin Ayah sudah merepotkan kalian..
kalian adalah anak yang paling Ayah banggakan
Jaga sholat dan iman kalian
Hadapi hidup dengan senyuman
Ayah percaya kelak kalian akan menjemput kebahagiaan..
Ayah pergi menyusul Ibu..
Doakan terus Ayah dan Ibu yaa..
Genangan air mata seakan tumpah di pipi kedua ganis itu. Kematian Ayahnya yang begitu cepat membuat mereka sadar bahwa Ayahlah segalanya. Kini Zahra menjalani hidup hanya dengan Salma. Hari-hari berbalut kesedihan dan luka mendalam. Namun mereka yakin Tuhan akan menurunkan seorang malaikat yang akan menemani dan membuat tawa bahagia untuk hari esok dan seterusnya.

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates